Untuk menjadi pintar, aku harus menjadi
bodoh terlebih dahulu.
Untuk dicintai, aku harus
disakiti terlebih dahulu.
Untuk menjadi tegar, aku harus
putus asa terlebih dahulu.
Untuk memiliki, aku harus
kehilangan terlebih dahulu.
Anganku melambung jauh,
mengingat kejadian seminggu yang lalu.
Entah
mengapa, hatiku meloncat kegirangan. Bahagia mengetahui dia berada dibawah
langit yang sama denganku. Bahagia mengetahui dia berpijak pada bumi yang sama
denganku. Maksudku, bahagia karena dia ada ditempat yang sama denganku.
Ditempat baru yang selama beberapa tahun blakangan ini, ku torehkan semua
kisahku sendiri setelah melepasnya.
Sebuah
tempat dimana, tak pernah terlukiskan kisah tentang kita. Hanya aku, hanya
kisahku sendiri dengan semua rasa penyesalan, kecewa, sakit dan airmata. Dan
kini dia berpijak diatas semua rasa itu. Hatiku bahagia, bahkan terlanjur
bahagia.
Ribuan khayalan
bermunculan dibenakku.
Seandainya dulu aku tak melepaskannya,
mungkin kini aku bisa saja menjemputnya dibandara.
Seandainya dia milikiku, mungkin
kini aku bisa mengajaknya melihat kehidupankuyang jauh darinya.
Seandainya semua dapat
kuperbaiki, mungkin kini aku dapat menuliskan kisah kami berdua ditempat ini.
Seandainya…..
Seandainya…..
Namun
sekejap kemudian, kutersadar bahwa kebahagiaanku ini sebenarnya tak boleh
kurasakan. Kebahagiaan yang kurasakan ini, kini miliknya. Milik seseorang yang
tak kukenal, yang kini memiliki hati dan jiwanya.
Hari
itu, aku menghubunginya…
Ku coba
mengirimkan pesan singkat kepadanya
Kapan
balik Jakarta ? Send.
Ku menanti
balasan darimu. Namun penantian itu sia-sia.
Disaat itu,
kumerasa kan logika ku memaki kata hatiku.
“ Mengapa kau begitu bodoh, sudah kubilang
dia tak memiliki secuil rasa lagi untukmu. Mengapa kau masih saja
mengharapkannya “ logikaku
berbicara.
“ Aku hanya mencoba, taka da salahnya kan ?”
hatiku memberikan pembenaran.
“ Telah beribu kali kau melakukan hal yang
sama dan mendapat jawaban yang sama, mengapa kau tak berhenti juga. Mengapa kau
begitu bodoh ?” logikaku mengingatkan ku lagi.
Dan hatiku
menjawab dengan tetesan airmata.
Hari sekesian
dimana kita berpijak dibumi yang sama, kucoba menghubungimu lagi.
Kali ini
kucoba untuk mendengarkan suaramu.
Tuutt…tuuutt….
Entah mengapa
jantungku berpacu 3x lebih cepat dari biasanya.
Terdengar
jawaban dari seberang sana.
“ Halo…met
siang !” sahutku dengan berusaha mengatur debar jantungku.
“ Iya..siang.
Ada apa ?” kudengar jawaban dari suara yang selalu kurindukan.
“ Eh
iya..maaf ganggu, aku cuma pengen nanya kapan kamu balik Jakarta ?”.
“ Besok pagi.
Jam 8 aku check-in dan jam 10 take-off. Emang ada apa ?” tanya suaru itu.
“ Mmm..aku cuma
pengen ngasih ole-ole untuk mama dan ade kamu “.
“ Ow ya udah,
nanti ketemu dibandara besok pagi aja “.
“ Iya “ hanya
itu yang mampu keluar dari mulutku.
“ Ya udah ya,
bye “.
“ Bye “.
Lagi-lagi..logikaku
memaki kata hatiku.
“ Kau memang bodoh, mengapa kau masih ingin
menemuinya. Kau hanya akan sakit melihatnya besok “.
“ Aku hanya ingin menepati
janjiku pada mama dan adenya. Hanya itu “ kata hatiku membela.
“ Hah..itu hanya alasan yang kau buat
sendiri. Diluar semua itu, sebenarnya kau rindu untuk melihat wajahnya. Tak sadarkah
kau, apa yang akan dia pikirkan tentang dirimu ?” cercah logikaku.
Hatiku diam…diam
membenarkan semua yang dikatakan oleh logikaku.
Hari dimana
aku harus mendamaikan logika dan kata hatiku.
Aku akan
melihat dia.
Aku menginjakkan kakiku lebih awal sebelum dia datang,
hanya untuk dapat mengatur diriku agar aku mampu menyembunyikan semua yang
kurasakan.
07:30 aku
telah berada dibandara dan dia belum datang.
08:00 dia
belum datang.
09:00 dan dia
pun belum menampakkan wajahnya. Aku mulai gelisah namun aku berusaha membuang
semua pikiran burukku.
09:30 dia belum
memberiku kabar. Hatiku mulai tak tenang, logika ku berontak dan aku rasanya
ingin menangis.
09:40 suara
handphoneku bordering, aku dengan cepat meraih handphoneku dengan harapan
telepon itu dari dia. Dan kali ini, harapan itu ada. Dia menelponku.
“ Kamu dimana
?” tanya suara yang telah membuatku
gelisah sejak tadi.
“ Aku diluar
keberangkatan, kamu dimana ?” tanyaku dengan suara yang aku sendiri susah untuk
mengartikannya.
“ Aku sudah
diruang tunggu “.
Dan disaat
itu semua kebahagiaan yang kumiliki runtuh menutupi semua bercampur sakit dan
kecewa.
“ Ow kamu
udah diruang tunggu ? Gimana dengan ole-oleh ini ?” sebisa mungkin kubuat
suaraku terdengar biasa-biasa saja.
“ Iya nanti
aku coba keluar, tunggu bentar “.
“ Iya “.
“ Kamu
dimana, aku udah diluar nih. Buruan dong nanti aku ketinggalan pesawat “ dan
terdengar suara bentakkan yang membuat hatiku semakin hancur.
“ Iya aku
diluar, kamu dimana ?” nada suaraku mulai memuncak.
“ Kamu yang
dimana “ suaranya semakin terdengar marah.
Aku
melihatnya dari jauh.
“ Udah..aku
udah melihat kamu “ setelah berkata demikian, aku menutup saluran teleponnya.
Dan kini, aku
berhadapan dengan dia. Tanpa kata, aku memberikan ole-ole itu.
Dia
mengambilnya dan berkata “ Ya udah aku masuk, pesawatnya udah mau take-off “
dan di berbalik pergi.
Jangan..jangan
disini, kau akan men jadi bahan tontonan. Bertahanlah.
Aku beranjak
keluar bandara itu dengan hati yang tak karuan.
Aku meraih
handphoneku dan mencari sebuah nama. Nama yang bisa menemaniku saat ini.
“ Halo “
terdengar suara dari seberang sana.
“ Ka..mu bisa
gak jemput aku dibandara ?” airmata yang sejak tadi kubendung kini berurai satu
persatu.
“ Iya, jangan
kemana-mana. Aku bakal jemput kamu “ suara sahabat yang saat ini kubutuhkan.
Dan kini aku
berada disebuah kendaraan beroda dua yang dikemudikan oleh sahabatku.
Dibelakangnya, aku menangis sejadi-jadinya. Semua terasa masih baru.
Sakit, kecewa,
sesal, semua terasa seperti baru kemarin. Luka yang mulai mongering dengan
berjalannya waktu kini berdarah kembali. Tiga tahun setengah ternyata tak cukup
untuk mengobati semua rasa itu. Entah berapa lama yang harus kubutuhkan untuk
melupakan dia.
Aku terlanjur
mencintainya
Aku terlanjur
memberikan seluruh hatiku padanya. Ketika aku membutuhkan sebuah tempat untuk
beristirahat, aku tersadar bahwa aku sudah tak memilikinya lagi. Telah
kuberikan tempat untuk kubersandar seluruhnya kepada dia.
Aku
memberikan semua hatiku dengan impian dia bisa selalu bahagia.
Diantara
semua sakit dan airmata ini, selalu terselip harapan agar dia selalu bahagia.
Aku selalu berharap agar kau bahagia.
Dimanapun, kapanpun dan apapun
yang kau kerjakan, asalkan kau bahagia maka semua yang kurasakan ini taka da artinya.
Kau harus bahagia…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar