Jumat, 25 Oktober 2013





                Untuk menjadi pintar, aku harus menjadi bodoh terlebih dahulu.
                Untuk dicintai, aku harus disakiti terlebih dahulu.
                Untuk menjadi tegar, aku harus putus asa terlebih dahulu.
                Untuk memiliki, aku harus kehilangan terlebih dahulu.
                Anganku melambung jauh, mengingat kejadian seminggu yang lalu.
                Entah mengapa, hatiku meloncat kegirangan. Bahagia mengetahui dia berada dibawah langit yang sama denganku. Bahagia mengetahui dia berpijak pada bumi yang sama denganku. Maksudku, bahagia karena dia ada ditempat yang sama denganku. Ditempat baru yang selama beberapa tahun blakangan ini, ku torehkan semua kisahku sendiri setelah melepasnya.
                Sebuah tempat dimana, tak pernah terlukiskan kisah tentang kita. Hanya aku, hanya kisahku sendiri dengan semua rasa penyesalan, kecewa, sakit dan airmata. Dan kini dia berpijak diatas semua rasa itu. Hatiku bahagia, bahkan terlanjur bahagia.
                Ribuan khayalan bermunculan dibenakku.
                Seandainya dulu aku tak melepaskannya, mungkin kini aku bisa saja menjemputnya dibandara.
                Seandainya dia milikiku, mungkin kini aku bisa mengajaknya melihat kehidupankuyang jauh darinya.
                Seandainya semua dapat kuperbaiki, mungkin kini aku dapat menuliskan kisah kami berdua ditempat ini.
                Seandainya…..
                Seandainya…..
                Namun sekejap kemudian, kutersadar bahwa kebahagiaanku ini sebenarnya tak boleh kurasakan. Kebahagiaan yang kurasakan ini, kini miliknya. Milik seseorang yang tak kukenal, yang kini memiliki hati dan jiwanya.
                Hari itu, aku menghubunginya…
                Ku coba mengirimkan pesan singkat kepadanya
                Kapan balik Jakarta ? Send.
                Ku menanti balasan darimu. Namun penantian itu sia-sia.
                Disaat itu, kumerasa kan logika ku memaki kata hatiku.
                “ Mengapa kau begitu bodoh, sudah kubilang dia tak memiliki secuil rasa lagi untukmu. Mengapa kau masih saja mengharapkannya “  logikaku berbicara.
                “ Aku hanya mencoba, taka da salahnya kan ?” hatiku memberikan pembenaran.
                “ Telah beribu kali kau melakukan hal yang sama dan mendapat jawaban yang sama, mengapa kau tak berhenti juga. Mengapa kau begitu bodoh ?” logikaku mengingatkan ku lagi.
                Dan hatiku menjawab dengan tetesan airmata.
                Hari sekesian dimana kita berpijak dibumi yang sama, kucoba menghubungimu lagi.       
                Kali ini kucoba untuk mendengarkan suaramu.
                Tuutt…tuuutt….
                Entah mengapa jantungku berpacu 3x lebih cepat dari biasanya.
                Terdengar jawaban dari seberang sana.
                “ Halo…met siang !” sahutku dengan berusaha mengatur debar jantungku.
                “ Iya..siang. Ada apa ?” kudengar jawaban dari suara yang selalu kurindukan.
                “ Eh iya..maaf ganggu, aku cuma pengen nanya kapan kamu balik Jakarta ?”.
                “ Besok pagi. Jam 8 aku check-in dan jam 10 take-off. Emang ada apa ?” tanya suaru itu.
                “ Mmm..aku cuma pengen ngasih ole-ole untuk mama dan ade kamu “.
                “ Ow ya udah, nanti ketemu dibandara besok pagi aja “.
                “ Iya “ hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
                “ Ya udah ya, bye “.
                “ Bye “.
                Lagi-lagi..logikaku memaki kata hatiku.
                “ Kau memang bodoh, mengapa kau masih ingin menemuinya. Kau hanya akan sakit melihatnya besok “.
                “ Aku hanya ingin menepati janjiku pada mama dan adenya. Hanya itu “  kata hatiku membela.
                “ Hah..itu hanya alasan yang kau buat sendiri. Diluar semua itu, sebenarnya kau rindu untuk melihat wajahnya. Tak sadarkah kau, apa yang akan dia pikirkan tentang dirimu ?” cercah logikaku.
                Hatiku diam…diam membenarkan semua yang dikatakan oleh logikaku.
                Hari dimana aku harus mendamaikan logika dan kata hatiku.
                Aku akan melihat dia.
                Aku menginjakkan kakiku lebih awal sebelum dia datang, hanya untuk dapat mengatur diriku agar aku mampu menyembunyikan semua yang kurasakan.
                07:30 aku telah berada dibandara dan dia belum datang.
                08:00 dia belum datang.
                09:00 dan dia pun belum menampakkan wajahnya. Aku mulai gelisah namun aku berusaha membuang semua pikiran burukku.
                09:30 dia belum memberiku kabar. Hatiku mulai tak tenang, logika ku berontak dan aku rasanya ingin menangis.
                09:40 suara handphoneku bordering, aku dengan cepat meraih handphoneku dengan harapan telepon itu dari dia. Dan kali ini, harapan itu ada. Dia menelponku.
                “ Kamu dimana ?”  tanya suara yang telah membuatku gelisah sejak tadi.
                “ Aku diluar keberangkatan, kamu dimana ?” tanyaku dengan suara yang aku sendiri susah untuk mengartikannya.
                “ Aku sudah diruang tunggu “.
                Dan disaat itu semua kebahagiaan yang kumiliki runtuh menutupi semua bercampur sakit dan kecewa.
                “ Ow kamu udah diruang tunggu ? Gimana dengan ole-oleh ini ?” sebisa mungkin kubuat suaraku terdengar biasa-biasa saja.
                “ Iya nanti aku coba keluar, tunggu bentar “.
                “ Iya “.
                “ Kamu dimana, aku udah diluar nih. Buruan dong nanti aku ketinggalan pesawat “ dan terdengar suara bentakkan yang membuat hatiku semakin hancur.
                “ Iya aku diluar, kamu dimana ?” nada suaraku mulai memuncak.
                “ Kamu yang dimana “ suaranya semakin terdengar marah.
                Aku melihatnya dari jauh.
                “ Udah..aku udah melihat kamu “ setelah berkata demikian, aku menutup saluran teleponnya.
                Dan kini, aku berhadapan dengan dia. Tanpa kata, aku memberikan ole-ole itu.
                Dia mengambilnya dan berkata “ Ya udah aku masuk, pesawatnya udah mau take-off “ dan di berbalik pergi.
                Jangan..jangan disini, kau akan men jadi bahan tontonan. Bertahanlah.
                Aku beranjak keluar bandara itu dengan hati yang tak karuan.
                Aku meraih handphoneku dan mencari sebuah nama. Nama yang bisa menemaniku saat ini.
                “ Halo “ terdengar suara dari seberang sana.
                “ Ka..mu bisa gak jemput aku dibandara ?” airmata yang sejak tadi kubendung kini berurai satu persatu.
                “ Iya, jangan kemana-mana. Aku bakal jemput kamu “ suara sahabat yang saat ini kubutuhkan.
               
                Dan kini aku berada disebuah kendaraan beroda dua yang dikemudikan oleh sahabatku. Dibelakangnya, aku menangis sejadi-jadinya. Semua terasa masih baru.
                Sakit, kecewa, sesal, semua terasa seperti baru kemarin. Luka yang mulai mongering dengan berjalannya waktu kini berdarah kembali. Tiga tahun setengah ternyata tak cukup untuk mengobati semua rasa itu. Entah berapa lama yang harus kubutuhkan untuk melupakan dia.
                Aku terlanjur mencintainya
                Aku terlanjur memberikan seluruh hatiku padanya. Ketika aku membutuhkan sebuah tempat untuk beristirahat, aku tersadar bahwa aku sudah tak memilikinya lagi. Telah kuberikan tempat untuk kubersandar seluruhnya kepada dia.
                Aku memberikan semua hatiku dengan impian dia bisa selalu bahagia.
                Diantara semua sakit dan airmata ini, selalu terselip harapan agar dia selalu bahagia.

                Aku selalu berharap agar kau bahagia.
                Dimanapun, kapanpun dan apapun yang kau kerjakan, asalkan kau bahagia maka semua yang kurasakan ini taka da artinya.
                Kau harus bahagia…
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar